Belajar sejarah di Cibinong Yuukk!


Karadenan kampung para raden

Masjid Al Atiqiyah di Karadenan. ©2016 
Anda ingin memiliki keturunan berdarah biru? Silakan mencari jodoh di kampung ini. Jika mujur anda bisa menikah dengan yang bergelar raden.

Di Jalan Kaum I, Karadenan, Bogor, Jawa Barat, hampir sebagian besar warganya bergelar Raden. Gelar tersebut didapat warga secara turun temurun sejak zaman kerajaan Muara Beres. Muara Beres merupakan kerajaan kecil di bawah naungan Pajajaran yang melintasi Depok, Bojonggede, Cibinong, Jawa Barat. 

Sambutan hangat diberikan Dadang Supadma (49) saat merdeka.com bertandang ke kediamannya siang menjelang sore, beberapa waktu lalu. Secangkir teh hangat disuguhkan sebelum tokoh masyarakat setempat itu bercerita soal gelar Raden yang dimilikinya dan warga lainnya. Dadang menceritakan alasan warganya memiliki gelar Raden, tidak lain mewarisi peninggalan nenek moyang mereka yang umumnya keturunan pangeran di Kerajaan Muara Beres. Warisan tersebut terus bersambung hingga anak cucu saat ini. 

Menurut Dadang, warga Kaum, Karadenan sadar pentingnya kelestarian sejarah. Karena pada hakikatnya manusia tidak terlepas dari sejarah. "Kita kan pasti punya nenek moyang, bahasanya mah karuhunan, orang tua yang kasih kita nama Raden ya harus kita turunin ke anak cucu kita," ucap Dadang. 

Perbincangan berlanjut semakin akrab dengan Dadang. Dalam perbincangan kala itu, Dadang sempat menyinggung butuh kesungguhan dalam menjaga kelestarian sejarah, khususnya gelar raden agar terus menurun ke keturunan selanjutnya. Selain itu para pendatang yang berdatangan bisa menjadi 'ancaman' tersendiri terhadap gelar Raden, karena gelar akan terputus jika perempuan Raden Ayu menikah dengan laki-laki yang tidak memiliki gelar Raden. Itu mengapa setiap perempuan di Kaum Karadenan dulunya harus menikah dengan laki-laki yang bergelar Raden. 

Memiliki gelar Raden tidak membuat warga Kaum, Karadenan menjadi jumawa karena dianggap masih keturunan ningrat. Keistimewaan yang dimiliki warga Kaum juga tidak menjadi penghalang bagi mereka untuk bersosialisasi dengan warga lainnya yang non- Raden.
Hal ini bisa dirasakan setiap perayaan Maulid Nabi, berbondong-bondong warga sekitar wilayah Kaum, Karadenan berkumpul di Masjid Al Atiqiyah, masjid peninggalan kerajaan Muara Beres yang juga diklaim warga sebagai masjid tertua di Bogor, Jawa Barat. Dikatakan Dadang, hampir seribuan masyarakat berkumpul di Masjid tersebut, duduk berdampingan tanpa melihat latar belakang sosial.
"(Gelar Raden) ini bukan untuk adu kekuatan siapa dari mana asalnya, kita hanya menjaga peninggalan nenek moyang kita terdahulu. Kita tidak mungkin bisa berdiri sendiri tanpa nenek moyang kita, apa yang diwariskan orang tua itu wajib kita lestarikan. Orang yang tidak menaruh Raden di namanya padahal dia keturunan yang memiliki trah Raden, itu sama saja tidak peduli dengan sejarah dan kebudayaan," selorohnya sambil tertawa ringan.
Merasa miskin malu bergelar raden

Pesan Dadang soal gelar Raden sepertinya tidak cukup melekat terhadap M Sadeli (27), pria yang sehari-hari bekerja di sebuah bengkel, tidak jauh dari gang sempit Jalan Kamu I. Saat berbincang dengan merdeka.com dia mengaku bergelar Raden sejak lahir. Namun kondisi ekonomi 'memaksanya' meninggalkan gelar itu. malu katanya.

"Ya malu aja kang, masa raden gawe (kerja) begini. Raden mah biasanya kaya, tanah luas, makmur, tapi kalau di sini (Karadenan) biasa aja. Jadinya banyak yang malu punya nama raden teh," ujar Sadeli.

Padahal gelar Raden sudah dijelaskan oleh Dadang, bukan sebagai ajang unjuk gigi terhadap status sosial. Baginya menjaga peninggalan nenek moyang sangatlah penting demi kelestarian sejarah dan budaya itu sendiri.

Gelar Raden di Karadenan memang masih banyak. Ratusan warga di RW 04 memiliki gelar raden. Pegawai Kelurahan Karadenan, Taufik menyebut, dari 5 RT di RW 04, tiga RT di antaranya warga asli. Warga di tiga RT itu sebagian besar bergelar raden.
"Di RW itu itu sebagian besar memang masih bergelar raden. Turun temurun di dapat dari orang tua mereka. Kan katanya dulu di situ bekas kerajaan, dan warga asli di situ masih keturunan pendiri kerajaan," ujar Taufik.

Menikah sesama raden

Dadang bercerita, wanita bergelar raden di wilayahnya dilarang untuk menikah dengan orang luar yang tidak bergelar raden. Hal ini untuk mempertahankan trah raden di Karadenan. Namun aturan ini tidak berlaku bagi kaum adam.

"Kalau anak perempuan juga bergelar raden, tetapi kalau dia menikah dengan pria yang bukan raden, maka trahnya terputus, sehingga anak mereka tidak boleh pakai gelar raden. Tetapi kalau anak laki-laki, meskipun dia menikah dengan perempuan bukan raden, anaknya tetap raden," ujarnya.

Namun aturan tidak tertulis itu kini sudah mulai luntur. Perkembangan zaman tidak lagi bisa dibatasi dengan aturan tersebut.
Masjid Al Atiqiyah di Karadenan 2016 
"Sekarang mah bebas saja. Dua mantu saya juga dari Jawa, bukan raden. Gak papalah, yang penting jangan lupa saja sama silsilah. kan kita mah punya gelar raden bukan karena merasa paling tinggi atau hebat, tetapi kita mah sekadar melestarikan tradisi peninggalan karuhun," imbuhnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

AD/ART Rukun Tetangga 08 Rukun Warga 11 Perum Bogor Asri

Sejarah Cibinong (warga cibinong wajib tahu....!)

Program Kerja 2018 s/d 2021

Laporan Rapat Warga 18 Februari 2018

Data Nama Warga